Kosmopolitanisme Hubungan Internasional

Kosmopolitanisme



Teori liberalisme lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang dia tulis di dalam buku ‘Towards Perpetual Peace: A Philosophical Sketch’. Immanuel Kant menyebut ada 3 hal yang harus dilakukan oleh semua negara-negara di dunia agar dapat tercipta perdamaian yang abadi. Pertama adalah semua negara di dunia harus membentuk pemerintahan mereka menjadi Republik (Democratic Peace Theory). Kedua, negara negara di dunia harus berusaha membentuk sebuah federasi internasional yang mana prinsip di dalamnya adalah dengan masuk secara sukarela (voluntarily). Lalu yang terakhir adalah bahwa semua negara di dunia harus menerapkan prinsip kosmopolitanisme.

Di dalam bukunya Immanuel Kant menulis “The Rights of men as a Citizen of the World in a Cosmo political system, shall be restricted to conditions of Universal Hospitality”. Maksudnya adalah bahwa semua orang di semua negara berhak untuk mendapatkan perlakuan yang pantas (hospitality) oleh semua negara di dunia meskipun dia bukan warga negara mereka, selama orang tersebut tidak melakukan kejahatan apa pun. Contohnya adalah ketika suatu negara didatangi oleh orang yang bukan warga negara mereka seperti traveler atau pun pengungsi, negara yang didatangi tersebut harus memperlakukan mereka dengan baik tanpa membeda bedakan dari mana mereka berasal. Kant mengajarkan tentang toleransi, dimana setiap negara harus memperlakukan siapa pun dengan baik tanpa melihat dari mana mereka berasal. Karena dunia ini tidak lah terdiri dari satu negara, suku, agama, dan budaya saja, dunia ini berisi orang orang dari budaya, negara, ras, dan agama yang berbeda beda. Dengan begitu, penciptaan kedamaian dunia yang abadi mungkin dapat diwujudkan. 

Konsep ini berkebalikan dengan fasisme, seperti yang diterapkan oleh bangsa Jerman dulu dengan Adolf Hitler dan Nazi yang dipimpinnya. Dimana Hitler menganggap bahwa bangsa Arya, suku bangsa mereka, adalah yang terbaik di dunia, dan karenanya suku bangsa lain yang bukan mereka harus dimusnahkan. Pemikiran atau pun ideologi seperti ini sangat bertentangan dengan kosmopolitanisme, dan akan mengancam perdamaian dunia sehingga menimbulkan peperangan.

Kosmopolitanisme pada intinya membicarakan mengenai moral. Kosmopolitanisme menginginkan diterapkannya moral yang sama di dunia ini, moral yang oleh semua orang dihargai dan diterima dimana pun di dunia ini. Pembicaraan tentang moral dalam mengkaji hubungan internasional sebenarnya sangat menarik. Sudah lama realisme dan teori teori turunannya menguasai paradigma ilmu hubungan internasional. Dan menurut realisme, masyarakat secara umum, individu atau pun negara, akan melakukan sesuatu berdasarkan kebutuhan mereka, bukan berdasarkan moral. Yang kuat akan berkuasa, yang lemah akan mengalami kesulitan. Manusia oleh realisme digambarkan sebagai makhluk yang egois, makhluk yang mementingkan diri sendiri, rakus, dan tidak akan pernah puas. Sungguh sangat jauh dengan definisi moralitas yang baik.

Namun nyatanya, secara individu atau dalam skala internasional, manusia maupun negara ternyata dapat melakukan tindakan yang murni berdasarkan moralitas yang mereka punya. Indonesia contohnya, yang peduli dengan bangsa Palestina yang tertindas, bahkan sampai-sampai Indonesia tidak mau melakukan kerja sama terhadap negara Israel. Padahal, kerja sama dengan Israel bisa saja menguntungkan buat negara Indonesia sendiri. Contoh lain lagi yang dekat terjadi di kawasan yang sama dengan negara kita, yaitu Asia Tenggara. Adalah kesulitan dan kesengsaraan orang-orang Rohingya di Myanmar yang mengalami diskriminasi oleh pemerintahnya sendiri. Kasus tersebut menarik banyak sekali perhatian dan juga kepedulian, bahkan bukan hanya dari masyarakat Asia Tenggara, tetapi juga masyarakat di seluruh dunia.

Hal-hal semacam itu jika kita telaah adalah merupakan tindakan yang terdorong dari moral yang kita miliki. Kajian realisme akan sangat sulit menjelaskan fenomena kepedulian masyarakat dunia tersebut, karena menurut mereka yang terpenting adalah kebaikan diri sendiri, kebaikan negara mereka sendiri. Jadi buat apa peduli dengan negara atau masyarakat lain di luar sana. Sebaliknya kosmopolitanisme mampu menjelaskan fenomena-fenomena tersebut dengan dasar moral.

Namun jika membahas tentang moral yang bersifat universal, masih dapat ditemukan banyak sekali perdebatan mengenai hal itu. Saya sendiri teringat dengan cerita Socrates yang berdebat dengan kaum sophis di Athena mengenai topik yang sama. Socrates bersikeras berpendapat bahwa moral atau dia menyebutnya nurani, adalah hal yang dilahirkan (given), maka itu berarti moral adalah sesuatu yang universal. Namun kaum sophis berpendapat berbeda, dengan menyebut moral itu tumbuh dari perilaku dan budaya sosial masyarakat. Moral bukan sesuatu yang universal, moral bersifat relatif bagi setiap orang di dunia ini.

Saya sendiri berpikir bahwa keduanya ada benarnya. Ada beberapa moral yang memang bersifat universal, seperti misalnya membunuh, siapa pun manusia di dunia ini, dimana pun Ia dibesarkan, dan dengan budaya apa pun Ia tumbuh akan menganggap pembunuhan adalah salah. Sedangkan misalnya cara berpakaian adalah moral yang tidak bersifat universal. Di budaya yang menganut agama Islam, menutup kepala bagi kaum perempuan adalah kewajiban, namun itu tidak merupakan kewajiban di belahan dunia lain. 

Selain itu, ada juga isu yang timbul mengenai nasionalisme. Kosmopolitanisme dikhawatirkan akan mengancam patriotisme yang dimiliki seorang warga negara. Dimana pada dasarnya, negara yang kuat adalah negara yang rakyatnya memiliki patriotisme yang tinggi, dengan mencintai bangsanya. Hukum Kosmopolitan yang dikenalkan oleh Immanuel Kant di dalam bukunya memiliki perhatian pada status manusia sebagai warga negara dunia, bukan hanya sebagai seorang warga negara.

Latest
Previous
Next Post »