Konstruktivisme
Kemunculan konstruktivisme ke dalam Hubungan Internasional ditandai oleh berakhirnya perang dingin, yang teori teori tradisional ternyata gagal untuk dapat menjelaskannya. Kegagalan ini disinyalir adalah akibat dari focus utama kajian mereka terletak pada negara, mereka tidak membuka kemungkinan bahwa factor individual juga dapat mempengaruhi system internasional. Adalah factor factor individual yang menjadikan perang dunia berakhir (runtuhnya Uni Soviet), bukan karena pekerjaan organisasi internasional. Konstruktivisme melihat isu tersebut, dan bilang bahwa tananan sosial dunia ini adalah kita, individu, yang mengaturnya. Actor actor (yang bkuat, seperti pemimpin negara atau masyarakat yang memiliki pengaruh) terus menerus membentuk dan membentuk ulang hubungan internasional lewat Tindakan Tindakan yang mereka lakukan.
Konstruktivisme
melihat dunia seperti apa yang kehidupan sosial kita bentuk. Mereka melihat realitas
dan pengetahuan dengan ontology dan epistimologi. Alexander Wendt (1995)
memberikan contoh bagus yang dapat mengilustrasikan tatanan sosial yang ada,
dengan menjelaskan bahwa 500 bom nuklir milik Inggris untuk Amerika Serikat,
tidak lebih berbahaya dari 5 bom nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara. Hal
ini, berbahaya atau tidak, bukan ditentukan oleh struktur material (jumlah bom
nuklirnya), tetapi ditentukan oleh makna yang disematkan kepada struktur
material tersebut (struktur ide). Senjata nuklir itu sendiri tidak memiliki
arti apapun kecuali kita berikan mereka konteks. Konstruktivisme dalam dunia
internasional melihat dunia tidak hanya pada struktur materialnya saja, tetapi
melangkah juga pada pembahasan mengenai ide dan kepercayaan pada perpolitikan
dunia. Dengan kata lain, arti atau konteks dari apapun dapat berubah sewaktu
waktu, tergantung dari ide dan kepercayaan yang actor internasional miliki.
Konstruktivisme menekankan pentingnya ide dan apa yang kita percayai, sebagai
bahan dasar yang ‘mengkonstruksi’ realitas sosial kita.
Coba
kita bayangkan seperti ini. Bayangkan kita bangun pada suatu pagi, dan berpikir
bawha amerika Serikat sudah tidak ada lagi, benar benar tidak ada. Karena pada
dasarnya Amerika ada bukan karena bangunannya, bukan karena tanah dan
wilayahnya, atau bukan karena konstitusi mereka. Amerika ‘ada’ karena semua
orang berpikir dan percaya bahwa Amerika ada. Dan jika memang Amerika ‘sudah
hilang’ misalkan, bangunan, mobil mobil di dalamnya, tanah, gunung sungai, yang
ada di sana akan tetap ada. Karena seperti yang telah saya sebutkan di atas,
hal ini lah yang terjadi kepada negara Uni Soviet saat itu. Kita pada suatu
hari secara bersama berpikir dan percaya bahwa Uni Soviet telah runtuh, bahwa
mereka telah hilang. Struktur materialisme yang membangun ‘Uni Soviet’ nyatanya
masih tetap ada di sana, orang-orangnya juga masih bernapas, dan wilayah Uni
Soviet tidak serta merta lenyap begitu saja, wilayah tersebut masih ada di
sana. Struktur material, sekali lagi tidak memiliki arti tertentu, konsteks
yang kita berikanlah yang membuat materi tersebut berarti sesuatu.
Argument
ini juga didukung oleh buku yang pernah Saya baca –meskipun bukan secara
langsung buku hubungan internasional—dari Yuval Noah Harari yang berjudul
Sapiens. Di buku tersebut, argument yang dituangkan oleh konstrutivisme sama
persis diceritakan oleh Yuval, bahwa ‘imajinasi’ adalah suatu hal yang
membedakan kita dengan kera atau monyet, dan dengan imajinasi kita dapat
membentuk suatu realitas yang kita mau.
Jika
menganalisa misalnya tentang kehidupan di abad 16. Mungkin teori lain di
hubungan internasional akan menanyakan tentang apa yang membuat sebuah kerajaan
di abad ke 16 menjadi aman. Namun konstruktivisme memiliki pendekatan lain, dan
menanyakan tentang apa yang membuat orang orang pada jaman itu berpikir bahwa
mereka hidup di suatu kerajaan.
Norma-norma
sosial memainkan peranan penting di dalam pemikiran kostruktivisme. Sebuah
negara dengan identitas tertentu dapat diprediksi akan mengikuti norma-norma
dari identitas yang tersematkan itu. Ide ini menunjukkan bahwa beberapa
Tindakan bisa dianggap wajar untuk beberapa pihak, namun bisa juga merupakan
Tindakan yang tidak wajar untuk pihak lainnya. Proses ini dikenal dengan
istilah ‘the logic of appropriate’, bahwa sebuah actor berperilaku
sedemikian rupa, karena mereka menganggap itu wajar untuk dilakukan.
Untuk
dapat mengerti lebih jauh tentang nomra, kita bisa mengidentifikasi norma
menjadi tiga jenis, norma regulative, norma konstitutif, dan norma perspektif.
Norma regulative membatasi perilaku, norma konstitutif menciptakan actor, atau
kategori dari sebuah Tindakan, norma perspektif menjelaskan fenomena dengan
norma tertentu, maksudnya adalah bagi mereka yang melakukan suatu tindakan,
tindakan tersebut menurut perspektif mereka tidak melanggar norma.
Sebagai contoh, kita tahu bahwa negara negara di dunia ini menginginkan kedaulatan negaranya dihormati oleh negara lain. Namun kita melihat di berita dan surat kabar, sering sekali Amerika Serikat melakukan intervensi terhadap perpolitikan negara lain. Dan karena itu adalah Amerika, kebanyakan dari kita menilai itu adalah hal yang wajar. Dengan menggunakan analisa konstruktivisme, intervensi sendiri pada dasarnya tidak memiliki arti, sampai nantinya kita berikan konteks tertentu barulah kita dapat memanen pengertian dari peristiwa tersebut.
Konstruktivisme menggelar teorinya dengan argument utama bahwa suatu tindakan, interaksi, dan persepsi adalah hal hal yang membentuk realitas. Pikiran dan tindakan kita (individu) pada dasarnya ‘mengkonstruksi’ hubungan internasional. Namun meskipun ide konstruktivisme ini sederhana, jika diaplikasikan kepada teori, dapat menjadi hal yang signifikan sebagai upaya kita dalam memahami dunia.
Sign up here with your email