Penghapusan Hukuman Mati


Hukuman mati dan hak asasi manusia kerap kali dipertentangkan. Hukuman mati sering dianggap melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Di sisi lain, hukuman mati dipandang efektif untuk memberikan rasa jera pada masyarakat sehingga dapat mencegah sebuah perilaku kriminal terulang kembali. Disinilah permasalahannya muncul, haruskah kita mengorbankan hak asasi seseorang demi ketertiban umum atau memberikan hak asasi kepada mereka yang telah mengganggu ketertiban umum?
Menurut KBBI, hukuman mati adalah hukuman yang dijalankan dengan membunuh (menembak, menggantung) orang yang bersalah. Di Indonesia, hukuman mati diatur dalam pasal 10 dan 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut pasal 11 KUHP, hukuman mati adalah pidana mati yang dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Sedangkan hak asasi manusia menurut KBBI adalah hak yang dilindungi secara internasional (yaitu deklarasi PBB Declaration of Human Rights), seperti hak hidup, hak kemerdekaan, hak untuk memiliki dan hak untuk mengeluarkan pendapat. Selanjutnya, hak asasi manusia ini diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28. Declaration of Human Rights menjadi acuan utama dalam pengaturan apa yang menjadi hak asasi seseorang.
Menurut Lawrence Friedman (2011), hukum merupakan produk dari tuntutan sosial. Tuntutan itu berasal dari kepentingan kelompok-kelompok sosial yang mana tuntutan itu bertujuan untuk memenuhi kepentingan itu. Jika masyarakat melihat bahwa hukuman mati dapat memenuhi kepentingannya, dalam hal ini ketertiban umum, maka masyarakat dapat menuntut diadakannya hukuman mati. Hal inilah yang terjadi pada kasus dakwaan hukuman mati bagi pelaku pengedar narkoba. Menurut survey Indo Barometer, sebagaimana dikutip dari merdeka.com, 84,1% responden menyatakan setuju atas hukuman mati yang diberikan kepada pengedar narkoba. Alasan dari mereka setuju terdiri dari 60,8% yang menyatakan bahwa narkoba dapat merusak generasi muda dan 23,7% yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat memberikan efek jera. Tuntutan sosial yang berupa perlindungan kepada generasi muda dan untuk memberikan rasa jera inilah yang memberikan legitimasi atas diterapkannya hukuman mati kepada pengedar narkoba.
Dalam kasus pengedar narkoba tersebut, hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang korban. Perlindungan hak asasi yang diberikan adalah kepada korban, bukan kepada pelaku. Hal ini diperkuat dengan aliran teori retributif yang menyatakan bahwa hukuman yang harus diterima harus setimpal dengan kerugian yang ditimbulkannya. Jika akibat yang ditimbulkan pengedar narkoba tersebut adalah kematian seseorang, maka hukuman yang pantas diberikan kepadanya adalah hukuman mati.
Eksistensi hukuman mati juga diperkuat dengan adanya pidana hukuman mati dalam hukum agama Islam atau hukum syariah. Hukuman mati dalam hukum syariah ini dikenal dengan nama qisas. Adanya pidana hukum mati dalam ajaran Islam tentu saja memperkuat legitimasi dari eksistensi hukuman mati di Indonesia. Menurut Marzuki (2017), salah satu sumber hukum ialah dari faktor sosiologis. Yang dimaksud dengan faktor sosiologis adalah bahwa hukum merupakan cerminan dari realita sosial. Oleh sebab itu, hukum berangkat dari keadaan sosial, salah satunya adalah agama. Mengutip katadata.co.id, 87,2% dari penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Ini artinya, bahwa hukuman mati, sebagaimana terdapat di dalam hukum syariah, merupakan cerminan sosial karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam.
Selain itu, hukuman mati juga dapat menyebabkan rasa jera pada masyarakat. Rasa jera ini ditimbulka dari ketakutan yang dihasilkan dari penerapan hukuman mati. Ketakutan ini bisa menguntungkan penguasa yang menguasai suatu negara. Menurut Machiavelli (2014), seorang penguasa haruslah ditakuti oleh rakyatnya. Ketakutan ini akan menghasilkan keadaan yang stabil di suatu negara.
Di sisi yang lain, mereka yang menolak diterapkannya hukuman mati berargumen bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagaimana tercantum di UUD 1945 pasal 28 I ayat 1, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Dengan diterapkannya hukuman mati, artinya negara telah merenggut hak untuk hidup terpidana.
Hukuman mati juga bertentangan dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Dalam pasal 3 deklarasi universal hak asasi manusia diatur bahwa tiap orang memiliki hak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan. Di pasal 5 diatur bahwa tidak boleh seorang pun dihukum secara tidak manusiawi. Penerapan hukuman mati tentu bertentangan dengan kedua pasal tersebut karena hukuman mati dapat merenggut hak hidup seseorang dan ia menghukum seorang terdakwa secara tidak manusiawi. Hal ini diperkuat dengan pasal 6 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia. Artinya, hukum harus mengakui hak asasi manusia tiap orang yang berurusan dengan hukum.
Selain itu, menurut teori utiliter, penerapan hukum haruslah memiliki manfaat dan kegunaan bagi individu dan masyarakat. penerapan hukuman mati ini tentu tidaklah mendatangkan manfaat dan kegunaan bagi individu karena terpidana hukuman mati sudah tentu tidak dapat memperbaiki hidupnya. Hukum menjadi hanya sebatas instrumen balas dendam, bukan instrumen yang berfungsi untuk memasyarakatkan dan memperbaiki perilaku terdakwa.
Hukuman mati juga tidak terbukti memberikan efek jera. Misalnya hukuman mati kepada pengedar narkoba. Walaupun sudah ada dilaksanakan hukuman mati bagi pengedar narkoba, angka penggunaan narkoba terus meningkat. Menurut data BNN, dari 4.022.228 jiwa pengguna narkoba pada tahun 2014 menjadi 5 juta jiwa pada tahun 2017. Hal ini menunjukan bahwa hukuman mati tidak memberikan efek jera maupun berhasil melindungi masyarakat dari bahaya narkoba.
Melihat dari argumen-argumen di atas, hukuman mati memang selayaknya dihapuskan. Argumen yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat memberikan rasa jera dan dapat mencegah berulangnya kasus kejahatan yang sama tidak terbukti. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya angka penggunaan narkoba walaupun sudah diterapkannya hukuman mati bagi para pengedarnya. Walaupun masyarakat menuntut diadakannya hukuman mati, tentu tuntutan ini tidak dapat diterima begitu saja. Kita harus melihat kebermanfaatan dari hukum yang akan diterapkan dan hukuman mati tidak memberi manfaat bagi terpidana karena ia tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidupnya.
Penerapan hukuman mati memang mengundang kontroversi. Ada yang setuju dengan penerapannya dan ada pula yang tidak setuju. Mereka yang setuju dengan penerapan hukuman mati berdalih bahwa hukuman mati dapat memberikan rasa jera dan mencegah suatu kejahatan untuk terulang kembali di masa depan. Mereka yang tidak setuju berargumen bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Tapi, dengan melihat fakta bahwa hukuman mati tidak memberikan efek jera dan gagal mencegah terjadinya sebuah kejahatan, memang sudah selayaknya hukuman mati untuk dihapuskan.



Referensi:
Friedman, Lawrence. 2011. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Bandung: Penerbit Nusa Media
Marzuki, Peter Mahmud. 2017. Pengantar Ilmu Hukum: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana
Machiavelli, Niccolo. 2014. Il Principe (Sang Pangeran). Yogyakarta: Narasi
Anjari, W. (2015). Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Widya Yustisia, 1(2).
Habib Shulton Asnawi. (2012). Hak Asasi Manusia Islam dan Barat: Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati Oleh: Habib Shulton Asnawi . Supremasi Hukum, 1(1).
PBB, M. U. (2006). Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Indonesian Journal of International Law, 4(1), 133–168. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Satrio, K. A. (n.d.). Hukuman Mati Ditinjau Dari Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia Internasional.
Zulfa, E. A. (2007). Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia). Lex Jurnalica (Ilmu Hukum), 4(2).

Kompas. (2019, Juni 26). Diambil kembali dari Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2019/06/26/11421691/bnn-sebut-penyalahgunaan-dan-peredaran-narkotika-semakin-meningkat
Merdeka. (2015, April 27). Diambil kembali dari Merdeka.com: https://www.merdeka.com/peristiwa/survei-841-persen-publik-setuju-hukuman-mati-pengedar-narkoba.html

Tirto.id. (2015, Januari 18). Diambil kembali dari Tirto.id: https://tirto.id/eksekusi-mati-zaman-jokowi-dan-ironi-hak-asasi-manusia-cDhX
Previous
Next Post »