Pemindahan
ibukota bukanlah sebuah wacana baru. Mengutip CNN, wacana pemindahan ibukota
sudah dimulai dari era kolonial Belanda. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam
pemindahan ibukota era kolonial adalah Jakarta, atau Batavia, sudah terlalu
padat dan menjadi sarang berkembangnya wabah penyakit. Pertimbangan ini tidak
jauh berbeda dengan yang sekarang dimana Jakarta memang sudah terlalu padat dan
beban yang ditanggungnya sudah terlampau berat. Beban yang dimaksud adalah
Jakarta sebagai pusat pemerintahan, keuangan, budaya, olah raga dan kesenian.
Pemindahan
ibukota ini tentu tidaklah murah. Menurut kepala Badan Perencanaan Nasional
(Bappenas), Bambang Brodjonegoro, biaya pemindahan ibukota akan menghabiskan
minimal Rp. 1 Trilliun. Angka ini tidaklah kecil. Jika melihat presentasi
kemiskinan Indonesia tahun 2019, wacana pemindahan ibukota ini harus kita
pertanyakan, apakah urgensinya begitu tinggi sehingga kita lebih memilih untuk
menghabiskan biaya minimal Rp. 1 triliun untuk memindahkan ibukota ketimbang
mengentaskan kemikinan? Menurut Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di
Indonesia pada tahun 2019 berkisar pada angka 9,41% dari keseluruhan penduduk
Indonesia. Hal ini diperparah dengan adanya ketimpangan dimana persentase
kemiskinan daerah Indonesia timur lebih tinggi ketimbang daerah Indonesia
barat.
Mengenai
argumen bahwa Jakarta sudah menanggung beban yang terlau berat, hal ini berarti
pemindahan ibukota bukanlah solusinya. Jika pusat pemerintahan, ekonomi,
keuangan, dll menumpuk di Jakarta, maka yang harus dipindahkan adalah
pusat-pusat itu, bukan ibukota secara keseluruhan. Memindahkan ibukota secara
keseluruhan berarti hanya memindahkan masalah Jakarta ke kota lain. Contoh
negara yang berhasil memisahkan pusat-pusat ini dengan pusat pemerintahan adalah
Amerika Serikat dimana pusat pemerintahan ada di Washington D.C. sedangkan
pusat ekonomi ada di New York.
Argumen
lain adalah bahwa dengan memindahkan ibukota keluar pulau Jawa akan membuat
pembangunan lebih merata dan tidak terlalu berfokus di pulau Jawa saja. Jika
kita bisa mengalokasikan dana sebesar minimal Rp. 1 triliun untuk pembangunan
infrastruktur di luar pulau Jawa dengan optimal, berarti opsi pemindahan
ibukota tidak perlu dilakukan. Hal ini disebabkan untuk membiayai pemindahan
ibukota saja sudah minimal Rp. 1 triliun, butuh berapa triliun lagi untuk
memulai pembangunan di luar pulau Jawa?
Ketua
umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyatakan
bahwa pemindahan ibukota ke luar pulau Jawa akan membawa dampak positif bagi
dunia usaha. Hal ini disebabkan karena pemindahan ibukota akan menciptakan
sebuah kota metropolitan baru. Ini berarti pemindahan ibukota hanya
menguntungkan kalangan pemilik modal saja, bukan masyarakat dari golongan
bawah. Ini juga diperkuat oleh kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
Thomas Lembong, yang mengatakan bahwa pemindahan ibukota akan membawa insentif
positif bagi para investor. Mungkin hal ini akan membuka lapangan kerja baru,
tapi itu tidak akan menyelesaikan permasalahan pengangguran nasional karena
lapangan kerja baru hanya akan tersedia di ibukota yang baru.
Yang
selanjutnya adalah menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), kajian lingkungan pemindahan
ibukota tidak transparan. Masih menurut Walhi, mereka menilai bahwa proyek ini
kurang melibatkan masyarakat lokal. Ini tentu berbahaya karena pemerintah
terkesan otoriter dengan menetapkan daerah calon ibukota baru tanpa persetujuan
dari penduduk lokal.
Wacana
pemindahan ibukota keluar pulau Jawa tentu memiliki banyak konsekuensi yang harus
diambil seperti biaya yang besar dengan harapan membawa dampak positif seperti
pemerataan pembangunan, investasi dan pengurangan beban Jakarta. Tapi tampaknya
dampak positif ini tidaklah efektif, jika tidak dikatakan sia-sia, karena
dampak-dampak positif yang diajukan bisa tercapai dengan tanpa pemindahan
ibukota yang berbiaya mahal.
Sign up here with your email