Judul buku :
Jejak Langkah
Penulis buku :
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit buku :
Lentera Dipantara
Cetakan :
Kesembilan, tahun 2012
Ketebalan buku :
724 halaman
Roman ini merupakan buku ketiga dari tetralogi pulau
Buru. Tetralogi ini menceritakan perjalanan hidup Minke, sang tokoh utama dalam
roman ini. Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi ini ketika ia sedang
diasingkan ke pulau Buru oleh rezim orde baru akibat keterlibatannya dalam
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang terafiliasi dengan PKI (Partai Komunis
Indonesia).
Tetralogi ini mengambil latar era kolonia dan mengangkat
kisah hidup Minke. Di novel Bumi Manusia, diceritakan awal mula kehidupan
Minke. Inti dari Bumi Manusia adalah ketika Minke menyadari adanya pengkelasan
sosial antara Eropa totok, Indo, timur jauh dan pribumi. Dari pengkelasan
sosial ini Minke merasakan adanya diskriminasi di bidang hukum. Dilanjutkan
dengan novel Anak Semua Bangsa, yang menceritakan kelanjutan kisah Minke
setelah berpisah dengan Annelies. Di fase ini, Minke belajar bahwa pengkelasan
sosial tidak berhenti disitu. Pengkelasan sosial juga terjadi di kalangan pribumi,
yaitu antara bangsawan, aparatur negara dan rakyat jelata. Disini pula Minke
menyadari bahwa pengkelasan sosial tidak hanya melahirkan diskriminasi, tapi
juga melahirkan penindasan. Dilanjutkan dengan novel Jejak Langkah yang
menceritakan fase hidup Minke yang mulai melawan penindasan tersebut dengan
membela kaum-kaum yang termarjinalkan.
A.
Ringkasan
cerita
Dikisahkan di novel ini, Minke harus pergi ke Betawi
untuk melanjutkan studinya di STOVIA (sekolah dokter jawa). Ia terpaksa
meninggalkan Wonokromo dan berpisah dengan Nyai Ontosoroh. Selama ia mengenyam
pendidikan di STOVIA, Minke tinggal di asrama siswa. Di awal kedatangannya di
tanah Betawi, Ter Haar, teman Minke, mengajaknya untuk datang ke kamarbola De
Harmonie yang akan kedatangan Van Heutz, Gubernur Jendral Hindia Belanda saat
itu. Dari pertemuan dengan Van Heutz itulah akhirnya terbangun kedekatan
hubungan antara Minke dengan Gubernur Jendral Van Heutz.
Pada suatu hari, Minke teringat bahwa ia dititipkan surat
dari Khouw Ah Soe untuk seseorang di tanah Betawi. Minke pun mengantarkan surat
tersebut ke alamat yang tertera di surat tersebut. Ternyata, surat tersebut
ditujukan untuk seorang gadis Tionghoa bernama Ang San Mei. Dari pertemuannya
dengan Ang San Mei, Minke menjadi jatuh cinta dengannya dan menikah dengannya.
Kedekatan Minke dengan Ang San Mei juga menyebabkan Minke lebih mengenal
komunitas Tionghoa dan pergerakan mereka untuk memajukan bangsa Tionghoa.
Dari kedekatannya dengan komunitas Tionghoa inilah Minke
menjadi lebih tahu mengenai pergerakan nasionalis di negara lain seperti
angkatan muda Tiongkok, perjuangan rakyat Filipina dan kemajuan pesat bangsa
Jepang. Dari pengetahuan inilah Minke menjadi semakin terdorong untuk membela
bangsanya yang dijajah oleh kolonialisme Belanda.
Pada hari yang lain, Minke menghadiri sebuah seminar yang
diisi oleh seorang dokter pribumi tua. Ia memberikan materi mengenai betapa
tertinggalnya bangsa pribumi dibanding dengan bangsa lain. Dokter tua ini
mengambil contoh bangsa Tionghoa dan Arab yang sudah mendirikan sebuah
organisasi modern sedangkan bangsa pribumi belum. Minke pada awalnya tidak
tertarik pada ide pendirian organisasi pribumi. Namun, setelah didorong oleh
istrinya, Ang San Mei, ia akhirnya setuju pada ide pendirian organisasi pribumi
dalam rangka membela bangsanya yang ditindas oleh penjajahan Belanda.
Ditengah semangatnya, Minke harus berhadapan dengan nasib
buruk. Istrinya, Ang San Mei, meninggal akibat kelelahan. Ang San Mei begitu
aktif dalam organisasi pemuda Tionghoa sampai tidak memperhatikan kesehatan
dirinya. Minke yang berusaha menyelamatkan istrinya terpaksa melanggar aturan
sekolah, yaitu membuat resep obat ketika ia belum resmi menjadi dokter. Ia pun
akhirnya dikeluarkan dari STOVIA akibat pelanggaran beratnya ini. Bagai jatuh tertimpa
tangga pula.
Setelah dikeluarkan dari STOVIA, Minke lalu berusaha
untuk mendirikan organisasi pribumi. Dengan bantuan dari banyak pihak,
berdirilah organisasi bernama Syarikat Priyayi. Organisasi ini pun mendapat
izin dari Gubernur Jendral berkat kedekatan Minke dengan Van Heutz. Dari
organisasi inilah Minke menerbitkan surat kabar Medan. Dengan surat kabar
inilah Minke mengadvokasikan kepentingan-kepentingan kaum pribumi.
Syarikat Priyayi bukanlah satu-satunya organisasi pribumi
yang berdiri saat itu. Tomo, teman Minke di STOVIA, juga hendak mendirikan
organisasi pribumi bernana Boedi Oetomo. Minke setuju dengan pendirian
organisasi ini dengan beberapa catatan, salah satunya mengenai keanggotaan.
Boedi Oetomo membatasi keanggotaannya hanya pada orang Jawa. Menurut Minke,
sebuah organisasi pribumi haruslah mencakup semua suku yang ada. Perbedaan
pandangan ini menyebabkan Minke mundur dari organisasi Boedi Oetomo.
Minke pun melanjutkan perjuangannya di surat kabar Medan.
Pada suatu hari, datang seorang gadis, yang ternyata seorang putri kerajaan
(Prinses van Kasiruta), untuk meminta bantuan kepada Minke. Putri kerajaan ini
beserta ayahnya sedang diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke tanah
Jawa karena mereka menolak tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka
meminta bantuan kepada Minke karena mereka mengetahui bahwa Minke memiliki
kedekatan dengan Gubernur Jendral Van Heutz.
Minke pun menyampaikan hal ini kepada Gubernur Jendral
Van Heutz. Gubernur Jendral Van Heutz pun menolak permintaan Minke dan
menyarankan Prinses untuk menikah dengan Minke. Hasil pertemuannya dengan
Gubernur Jendral Van Heutz disampaikan kepada raja (Ayah Prinses) dan ia pun setuju
untuk menikahkan anaknya denga Minke. Perjuangan Minke di hari-hari selanjutnya
pun ditemani oleh istrinya (Prinses).
Selanjutnya, Minke berpikir bagaimana cara untuk
memajukan organisasi Syarikat dan menyatukan kaum pribumi. Minke pun mendapat
pandangan baru bahwa perdagangan dapat menyatukan suatu kaum dan dapat membawa
kemakmuran bagi kaum pribumi. Akhirnya, Syarikat Priyayi berubah menjadi
Syarikat Dagang Islamiyah. Organisasi ini pun berkembang dengan pesat.
Melihat pertumbuhan organisasi Syarikat Dagang Islamiyah
yang pesat, mulai muncul kelompok-kelompok yang tidak suka dengan organisasi
ini. Kelompok-kelompok itu antara lain adalah De Knijper, TAI dan De Zweep.
Bahkan, pemimpin dari De Knijper adalah Robert Suurhof yang memang memiliki
dendam pribadi kepada Minke. Banyaknya ancaman yang datang membuat anggota
Syarikat Dagang Islamiyah mulai belajar pencak silat untuk membela diri.
Ditengah banyaknya ancaman yang datang, surat kabar Medan
tetap berjalan untuk membela kepentingan kaum pribumi. Dalam perkembangannya,
surat kabar Medan mendapat bantuan dari seorang ahli hukum Belanda bernama
Hendrik Frischboten yang merupakan suami dari sahabat Minke, yaitu Mir
Frischboten. Hendrik bertugas menjadi ahli hukum surat kabar Medan dengan
memberikan masukan di bidang hukum kepada tiap kasus yang datang.
Surat kabar Medan pun semakin tenar dan semakin masif
pengaruhnya. Cabang-cabang surat kabar pun dibuka di daerah-daerah lain akibat
banyaknya pengaduan yang masuk. Gubernur Jendral Hindia Belanda yang baru, Idenburg,
melihat perkembangan surat kabar Medan sebagai ancaman. Idenburg berbeda denga
Van Heutz. Idenburg adalah Gubernur Jendral dari golongan konservatif yang
hendak menguatkan kembali kuasa golongan kulit putih diatas kaum pribumi,
sedangkan Van Heutz datang dari golongan liberal yang hendak memajukan nasib
kaum pribumi. Perbedaan pandangan Gubernur Jendral ini memiliki dampak yang
masif bagi perjuangan Minke dan sahabat-sahabatnya.
Melihat pesatnya perkembangan organisasi Syarikat Dagang
Islamiya, Minke pun memutuskan untuk melaksanakan konferensi. Semua cabang
organisasi Syarikat Dagang Islamiyah diundang ke acara konferensi ini. Hasil
dari konferensi ini adalah pertama, Minke beserta istrinya, Prinses, akan
bertugas melakukan propaganda organisasi. Kedua, pimpinan organisasi Syarikat
Dagang Islamiyah diberikan kepada Hadji Samadi.
Karena harus melakukan propaganda ke banyak daerah, Minke
menyerahkan kepemimpinan surat kabar Medan kepada sahabat-sahabatnya, yaitu
Sandiman, Marko dan Hendrik Frischboten. Namun sebelum berangkat untuk
melakukan propaganda, surat kabar Medan melakukan sebuah blunder dengan
menerbitkan sebuah tulisan yang dianggap menghina Gubernur Jendral. Akibat
blunder ini, Minke pun ditangkap oleh aparat pemerintah kolonial Belanda untuk
diasingkan.
B.
Analisis
Novel yang menceritakan jalan hidup seorang bernama Tirto
Adhi Soerjo, diberi nama Minke dalam novel ini, sudah cukup detil. Pembaca
dapat merasakan suasana kehidupan masyarakat sosial di era kolonial Belanda.
Bahkan, pembaca dapat merasakan sisi emosional yang dirasakan oleh Minke karena
sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama.
Novel ini juga mengisahkan dua momentum penting dalam
perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Pertama, perubahan metode perlawanan kaum
pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebelum era ini, perlawanan kaum
pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda adalah dengan melakukan perlawanan
fisik. Perlawanan semacam ini memang berhasil merepotkan pemerintah kolonial
Belanda, namun tidak dapat menghapus penindasan dan kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda atas kaum pribumi. Seiring dengan datangnya era modern, maka
metode yang digunakan untuk melawan penindasan pemerintah kolonial Belanda juga
berubah. Berdirinya organisasi-organisasi modern yang dipelopori oleh kaum
Tionghoa dan Arab di Indonesia telah memacu kaum pribumi untuk juga mendirikan
sebuah organisasi modern sebagai wadah perjuangannya yang memunculkan
organisasi Boedi Oetomo dan Syarikat Dagang Islamiyah yang kelak akan berubah
menjadi Syarikat Islamiyah. Kedua, lahirnya jurnalisme pribumi. Sebelum ini,
tidak ada surat kabar yang dimiliki oleh kaum pribumi, bahkan, tidak ada surat
kabar yang menggunakan bahasa pribum, baik itu bahasa Jawa maupun bahasa
Melayu. Minke yang sadar akan pentingnya sebuah surat kabar berbahasa Melayu
pun memutuskan untuk mendirikan sebuah surat kabar pertama yang menggunakan
bahasa Melayu serta menjadi surat kabar pertama yang dimiliki oleh kaum
pribumi. Dengan adanya surat kabar yang berbahasa Melayu, segmentasi masyarakat
yang dijangkau oleh surat kabar inipun meluas. Makin banyak masyarakat yang
sadar dan berani untuk melaporkan keresahannya akibat penindasan pemerintah
kolonial Belanda. Dengan dimiliki oleh kaum pribumi pula surat kabar ini dapat
dengan bebas membela dan mengadvokasikan kepentingan pribumi tanpa ada
intervensi dari kaum Eropa totok maupun kaum timur jauh.
Novel ini juga menceritakan momentum dalam pembentukan
bangsa Indonesia. Pertama, adalah dengan dibentuknya sebuah organisasi yang
tidak memandang perbedaan suku. Idealisme Minke mengenai sebuah bangsa yang
terdiri dari banyak suku menjadi awal dari pembentukan semangat “Bhinneka
Tunggal Ika”. Idealisme ini berangkat dari kesamaan nasib semua suku di
Indonesia yang mendapat penindasan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kedua,
adalah dengan digunakannya sebuah bahasa pemersatu. Keputusan Minke untuk
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan oleh surat kabar Medan
dilandasi fakta bahwa bahasa Melayu sudah digunakan secara luas di Indonesia
dan dapat dimengerti oleh banyak golongan. Walaupun tiap suku memiliki
bahasanya masing-masing, mereka memiliki sebuah bahasa universal yang mereka
mengerti, yaitu bahasa Melayu yang kelak dalam perkembangannya menjadi bahasa
Indonesia. Melalui perantara bahasa inilah suku-suku itu disatukan menjadi
sebuah bangsa besar bernama bangsa Indonesia.
Sign up here with your email
1 komentar:
Write komentarbagus banget resensi nya mas, lebih komperhensif dan gampang dicerna
Reply